Health
Ketahui Gejala dan Risiko DBD untuk Cegah Lonjakan Kasus di Musim Hujan
Saat ini Indonesia mulai memasuki musim hujan dengan curah hujan di atas normal, kondisi ini sangat berpotensi meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti dengue. Kelembapan tinggi dan lingkungan turut mendukung perkembangbiakan nyamuk.
Pencegahan tentu sangatlah penting. Karena tak hanya tingkat bahayanya saja, namun biaya perawatan penyakit ini juga cukup mahal. Sebagai bagian dari upaya memperkuat kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dengue di musim hujan, Takeda bekerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang kesehatan menyelenggarakan acara media briefing bertajuk “Urgensi dan Kepemimpinan Indonesia dalam Perjuangan Melawan Dengue”. Acara ini menekankan pentingnya kolaborasi multi-sektor yang berkelanjutan sebagai landasan tatalaksana dengue.
Derek Wallace, President, Global Vaccine Business Unit, Takeda Pharmaceuticals, menyatakan, “Dalam lima tahun terakhir, data dari Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa Indonesia masih menyumbang sekitar 66 persen kematian akibat dengue di Asia tahun lalu, negara dengan jumlah kasus tertinggi di kawasan Asia pada 2024. Namun di tengah tren peningkatan global tersebut, Indonesia justru berhasil menekan laju kasus dengue secara signifikan pada tahun 2025, sebuah pencapaian yang patut diapresiasi dan mencerminkan kuatnya komitmen pemerintah dan pihak terkait dalam pengendalian dengue. Untuk mempertahankan momentum ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan guna mencegah peningkatan kasus dengue di Indonesia. Takeda siap berdampingan dengan seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat upaya pencegahan dan pengendalian dengue, serta bersama-sama mewujudkan target Zero Dengue Deaths by 2030,” urai Derek Wallace.

Tidak hanya mengancam jiwa, dengue juga menimbulkan beban signifikan bagi keluarga dan sistem kesehatan nasional yang membiayai pengobatan. Disampaikan oleh Prof. dr. Ghufron Mukti, MSc, PhD, Direktur Utama BPJS Kesehatan, menjelaskan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengalami gejala DBD dijamin oleh Program JKN dan dapat langsung ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terdaftar untuk pemeriksaan, pengobatan, dan layanan penunjang. Jika menurut penilaian medis perlu penanganan lanjutan, peserta akan dirujuk ke rumah sakit atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). “Masih banyak yang keliru mengira DBD tidak bisa dirujuk, padahal tetap dijamin dalam Program JKN, dapat ditangani di FKTP sesuai kewenangan dokter, dan bisa dirujuk bila ada indikasi medis,” ujar Prof. Ghufron.
Dari sisi klinis, Penasihat Satuan Tugas (Satgas) Imunisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, KAI, menegaskan bahwa infeksi dengue pada kelompok dewasa, khususnya mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbiditas), dapat menimbulkan komplikasi serius apabila tidak terdeteksi sejak dini. “Pasien dengan hipertensi dapat mengalami kondisi 2–3 kali lebih berat, sedangkan pasien obesitas 1,5–2 kali lebih berat, diabetes 3–5 kali, bahkan pada pasien dengan gangguan ginjal kronis, tingkat keparahan bisa mencapai hingga tujuh kali lipat. Lebih lanjut, infeksi dengue juga berdampak nyata terhadap produktivitas dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan studi kasus tahun 2018–2020 terhadap 45 karyawan yang terinfeksi dengue, rata-rata mereka harus absen selama enam hari kerja. Bahkan, dua dari tiga di antaranya masih mengalami kelelahan selama beberapa minggu setelah dinyatakan sembuh. Apabila seseorang kembali terinfeksi dengue, risiko terjadinya dengue berat akan meningkat secara signifikan.”

Menurut Prof. Samsuridjal, pencegahan dan deteksi dini merupakan langkah krusial untuk mencegah kondisi darurat medis. Ia juga menekankan pentingnya memperluas cakupan imunisasi sebagai bagian dari strategi pencegahan yang komprehensif. “Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI telah merekomendasikan vaksin dengue ke dalam jadwal imunisasi dewasa untuk bisa melindungi orang dewasa dan lanjut usia. Pencegahan dengue adalah tanggung jawab bersama lintas kelompok usia, dan hanya dapat dicapai melalui kesadaran kolektif serta aksi yang terkoordinasi.”
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K), Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menjelaskan, “Anak-anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap infeksi dengue dan berisiko tinggi mengalami dengue berat yang berdampak kematian. Di tahun 2024 saja, sekitar 43% kasus dengue terjadi pada golongan usia < 14 tahun dengan proporsi kematian terbesar yaitu 53% terjadi pada golongan usia 5-14 tahun. Penyebab kematian tersering adalah syok atau renjatan yang terjadi pada hari ke 4-5 demam. Seperti diketahui, Demam Berdarah Dengue memiliki tiga fase: 1-3 hari pertama merupakan fase demam; hari ke-4-5 adalah fase kritis; dan hari ke-6-7 adalah fase penyembuhan. Bila demam turun pada hari 4-5 bukan berarti sembuh 100% tapi perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya syok. Orang tua perlu berhati-hati dan waspada terhadap adanya syok dalam fase kritis. Bila anak tampak lemas, pucat, kaki tangan dingin, nyeri perut hebat perlu segera berobat ke fasyankes terdekat.”
Prof. Hartono menambahkan bahwa sampai saat ini, masih belum ada obat khusus untuk menyembuhkan dengue. “Pencegahan, diagnosis dini dan intervensi segera tepat waktu sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas DBD. Pencegahan yang terintegrasi, termasuk menjaga kebersihan lingkungan, menjalankan program 3M plus terutama di musim hujan penting untuk mengurangi populasi nyamuk. Imunisasi bagi anak-anak yang memenuhi syarat mulai usia empat tahun, memberikan perlindungan terhadap virus dengue. Lebih lanjut, bila anak telah menderita demam, orang tua memiliki peran sentral dalam membawa anak berobat segera. Mengingat keterlambatan diagnosis dan intervensi berperan dalam terjadinya DBD yang berat. Oleh karena itu, pencegahan merupakan aspek penting yang perlu dilakukan di masyarakat,” tutupnya. (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. iStockphoto, SmartMama)





Comments are closed.