Mind

Smart Mama Story: Pengalaman Pertama Menjadi Seorang Mama

By  | 

Becoming a mama for the first time is a dramatic shift in any woman’s life. But of course, everyone’s experience is different.

“Setelah selama 10 tahun kami berkomitmen untuk hidup tanpa anak lalu akhirnya hamil, pengalaman pertama setelah melahirkan Jakob (2) sungguh membuat saya menyadari bahwa menjalani peran sebagai seorang mama ternyata sangat melelahkan,” – Hera Diani.

Sama seperti kita, wanita yang berprofesi sebagai communication consultant untuk The World Bank sekaligus Co founder/Managing editor Magdalene ini juga pernah melewati fase perubahan diri yang signifikan selama hamil di usia 38 tahun & tantangan menjalaninya (Ia berbagi pengalaman ini melalui sebuah artikel “38 & Pregnant”), kesulitan menyusui karena produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan, hingga kebingungan membagi waktu antara bekerja dan mengurus Si Kecil di rumah.

"38 & Pregnant" by Hera Diani

“38 & Pregnant” by Hera Diani

“Breastfeeding is not easy for everyone”

“Perjalanan 1 tahun pertama menjadi seorang mama yang paling melelahkan diawali dengan tantangan menyusui, yang membuat saya menyadari bahwa setiap mama pada akhirnya akan memutuskan, sesuai dengan kondisinya masing – masing, apakah ia akan terus menyusui bayinya atau tidak,” ujar Hera mengawali obrolan kami tentang fase menyusui yang dilaluinya selama 11 bulan.

Dalam kasus Hera, berat badan Jakob yang tidak juga mengalami penambahan signifikan walaupun sudah mengonsumsi ASI membuatnya harus menambahkan asupan susu formula sesuai anjuran dokter. Ia menambahkan, “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, mulai dari konsumsi suplemen pelancar ASI hingga memerah secara rutin. Tapi pada suatu momen, ASI perah saya justru tercampur dengan darah yang berasal dari payudara. Pengalaman itulah yang membuat saya menyadari bahwa menyusui sama sekali tidak mudah. Jadi tidak seharusnya lingkungan memberikan judgement negatif terhadap mereka yang tidak atau tidak bisa menyusui.”

Hera & Jacob (2)

Hera & Jacob (2)

“Motherhood is the rudest awakening for feminist”

“Saya rasa itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupan baru sebagai seorang mama ya, hehe.. Melalui Magdalene, website yang saya dan 2 orang rekan sesama jurnalis inisiasi untuk lebih menyuarakan isu feminisme, kami mendapat gambaran tentang kondisi para single mama di Indonesia. Mereka tidak hanya harus mengurus anak – anak, namun juga bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun menurut UU Perkawinan, pria adalah pihak yang wajib memenuhi kebutuhan hidup keluarga, pada kenyataannya, wanita masih dihadapkan pada problem vital mencari nafkah,” tambahnya.

Hera & tim Magdalene

Hera & tim Magdalene

Working life balance 

Working from home, tidak lantas membuat Hera menjadi lebih mudah mengatur waktunya, “Justru saat bekerja di rumah, konsentrasi saya sering terpecah. Ada saja yang Jakob butuhkan jadi saya harus siapkan waktu khusus untuk editing. Misalnya bangun pagi – pagi sekali atau malah setelah ia tidur malam. Intinya, begitu berubah peran jadi mama, saya harus berjuang mengatur waktu untuk bekerja sekaligus mengatur momen me time sendiri tanpa suami/baby supaya nggak stres,” tutup Hera.

Ia berharap, dengan semakin banyaknya kisah – kisah yang disuarakan, hak – hak perempuan khususnya para mama di Indonesia dapat semakin dipenuhi, “Terutama yang berhubungan dengan fasilitas transportasi yang nyaman & fleksibilitas cuti melahirkan; budaya patriarki yang membahayakan kaum wanita semakin terkikis untuk masa depan yang lebih baik.” Thanks for sharing, Hera, enjoy motherhood! (Nathalie Indry/KR/Photo: dok. Hera Diani)

 

 

Comments are closed.

Shares