Health

Wasting & Stunting: Ancaman Bagi Si Kecil untuk Tumbuh dan Berkembang dengan Optimal

By  | 

Beragam masalah kesehatan anak terkait malnutrisi, seperti stunting, wasting, dan underweight faktanya masih banyak dialami oleh anak Indonesia. Belum selesai dengan ketiga masalah tersebut, anak Indonesia sudah mulai mengalami malnutrisi tipe lain yaitu gizi berlebih atau obesitas. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, sebanyak 21,6% Balita, atau 1 dari 5 anak mengalami stunting, sementara 7,7% Balita, atau 1 dari 12 anak mengalami wasting.

Stunting dan wasting pada Si Kecil

Stunting, lebih dari sekedar perawakan pendek ya Mams. Stunting merupakan kondisi malnutrisi akibat dari kekurangan asupan nutrisi, atau penyakit kronik yang mengakibatkan kegagalan seorang anak untuk mencapai tinggi badan sesuai potensi genetiknya. Penelitian menunjukkan bahwa akibat dari stunting tidak hanya sebatas perawakan pendek, namun seorang anak yang mengalami stunting juga akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah, performa di sekolah yang menurun, kemampuan fisik yang lebih rendah, dan lebih mudah untuk jatuh sakit. Pada jangka panjang dan level Nasional, hal ini bahkan dapat berakibat pada menurunnya kemampuan ekonomi negara.

Wasting, atau lebih kita kenal sebagai gizi kurang hingga gizi buruk, menandakan kurangnya asupan nutrisi yang bersifat akut. Wasting terutama pada anak berusia kurang dari dua tahun akan berdampak jangka panjang yang buruk lho, Mams. Pada dua tahun pertama kehidupan seorang anak, otak berkembang dengan sangat pesat. Bila seorang anak mengalami wasting hingga gizi buruk, maka perkembangan otak akan terganggu. Pada jangka panjang perkembangan otak yang terganggu ini akan mengakibatkan menurunnya kecerdasan seorang anak dan menurunnya kualitas hidup saat dewasa nanti.

Pencegahan Stunting dan Wasting

Menurut Prof. Dr. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K),Dokter Spesialis Anak yang ahli dalam bidang Tumbuh Kembang Sosial, langkah pencegahan terjadinya kondisi malnutrisi menjadi sangat penting untuk menyelamatkan anak Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan program 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Yaitu upaya untuk menjaga kesehatan dan gizi seorang anak sejak dalam kandungan sampai berusia dua tahun, karena periode ini merupakan periode paling penting dan krusial dalam perkembangan seorang anak hingga dewasa.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah malnutrisi pada 1000 HPK di antaranya adalah:

* Inisiasi menyusui dini setelah bayi lahir

* Pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

* Lengkapi imunisasi

* Pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) sejak usia 6 bulan (sering menjadi periode kritis akibat minimnya informasi tentang MPASI)

“Oleh karena itu, sangat penting bagi Mama untuk memantau berat badan dan tinggi badan Si Kecil, serta mencatatnya dalam kurva pertumbuhan,” saran Dr. Rini yang juga menjabat sebagai Guru Besar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Anjuran WHO tentang terkait MPASI

Seringkali seorang anak belum akan mengalami kondisi wasting atau stunting pada usia 6 bulan pertama kehidupan karena kebutuhan nutrisinya masih mudah dipenuhi dengan pemberian ASI. Akan tetapi, pada usia 6 bulan saat anak mulai dikenalkan dengan MPASI, seringkali kenaikan berat badan dan tinggi badan seorang anak menjadi tidak optimal.

WHO telah mengeluarkan edaran, bahwa MPASI yang baik untuk Si Kecil adalah:

1) MPASI yang diberikan pada waktu yang tepat, yaitu saat bayi berusia 6 bulan atau sebelum itu bila kebutuhan nutrisi sudah tidak dapat dipenuhi dengan ASI (atas anjuran dokter anak Si Kecil)

2) MPASI diberikan dalam jumlah yang cukup, yaitu mencukupi kebutuhan kalori, zat gizi makro dan mikro bayi

3) MPASI aman, yaitu proses pembuatannya higienis dan diberikan menggunakan tangan dan peralatan yang bersih

4) MPASI sesuai, baik teksturnya yang sesuai dengan kemampuan usia bayi, diberikan sesuai keinginan lapar dan kenyang bayi, serta diberikan dalam frekuensi yang benar.

Baiknya sejak pemberian MPASI, Mama sudah mulai mengenalkan anak dengan beraneka ragam makanan dan rasa, karena akan mempengaruhi selera makan anak hingga dewasa nanti.

MPASI Fortifikasi

Kandungan gizi MPASI yang baik harus mencukupi kebutuhan zat gizi makro dan mikro Si Kecil ya, Mams. MPASI juga harus memiliki kandungan karbohidrat, lemak dan protein, terutama protein hewani yang tinggi zat besi.  Zat besi adalah salah satu elemen kunci dalam optimalisasi periode 1.000 HPK, termasuk untuk pencegahan stunting.

“MPASI homemade tentu dipercaya dapat memberikan asupan terbaik bagi Si Kecil. Namun seperti kita pahami, membuat MPASI homemade juga bisa jadi tantangan para mama, termasuk mama bekerja. Saat ini, MPASI fortifikasi dapat menjadi pilihan dalam memenuhi kebutuhan gizi Si Kecil. MPASI fortifikasi adalah produk MPASI yang sudah diberikan penambahan nutrisi zat gizi makro dan mikro sesuai dengan rekomendasi dari CODEX milik FAO dan WHO,” terangnya.

Salah satu keunggulan MPASI fortifikasi adalah memiliki kandungan vitamin dan mineral terutama besi yang sudah mencukupi kebutuhan bayi, sehingga Mamas tidak perlu repot menghitung kandungan vitamin dan mineral dalam MPASI buatan rumah, karena sudah terjamin dipenuhi oleh MPASI fortifikasi. Bagi Mamas yang memiliki keterbatasan waktu dan khawatir dalam memenuhi kebutuhan zat gizi makro dan mikro anak, MPASI fortifikasi dapat menjadi pilihan bagi Si Kecil.

Mamas tak perlu khawatir lagi dengan kandungan gizi dalam MPASI fortifikasi. Bahkan sebuah studi mengungkapkan bahwa bayi yang mengonsumsi MPASI homemade menunjukkan kadar hemoglobin, serum feritin, dan zat besi serum yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan MPASI fortifikasi. Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekurangan berat badan, stunting, dan wasting dibandingkan bayi dengan MPASI fortifikasi. Di Indonesia, MPASI fortifikasi juga dalam pengawasan ketat dari BPOM yang tidak mengizinkan MPASI fortifikasi mengandung pengawet, pewarna atau perisa serta tidak boleh memiliki kandungan gula dan garam yang tinggi. (Tammy Febriani/KR/Source: Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) & dr. Fakhri Muhammad Photo: Doc. Freepik)

Shares