Smart Mama Story: Maureen Hitipeuw

By  | 

Menguatkan diri saat perceraian harus menjadi pilihan terakhir sambil membesarkan anak tidaklah semudah yang kita pikirkan. Maureen Hitipeuw, founder komunitas Single Moms Indonesia yang baru – baru ini terpilih dalam program Facebook Community Leadership Program telah memperkenalkan konsep perpisahan pada putranya, Alex (11) sejak dini (Baca: Finding Joy on Being a Single Mama). Simak sharing ups & downs dirinya menjalankan peran ganda sejak 9 tahun lalu.

IMG_3258 (1)-2

Hi  Maureen! Kalau boleh berbagi.. bagaimana kondisi terlemah yang dialami saat menghadapi konsekuensi perceraian & proses menemukan jalan untuk bangkit kembali? 

Saat itu saya dan mantan suami putus komunikasi selama kurang lebih 8 bulan. Dia menghilang ketika Alex menjelang masuk TK. Antara mengobati diri sendiri karena sakit hati, marah plus stres karena harus memikirkan bagaimana caranya saya mengumpulkan dana untuk menyekolahkan anak. Saya down banget.

Ibu yang sangat berjasa masa itu karena beliau mengingatkan saya “Saat kamu nggak sanggup, angkat tangan, minta bantuan Tuhan. Maka Tuhan akan turun tangan.” ucapan Ibu saya itu tetap saya pegang hingga hari ini. Ternyata Semesta memang baik, saya berdoa supaya dibukakan jalan untuk menghidupi Si Kecil. Saya dapat pekerjaan setelah menganggur sejak menikah & memenangkan lomba foto tingkat Asia Tenggara sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, bahkan mengajak keluarga berlibur. Di situ saya tersadar penuh pentingnya kita berdoa. Minta dengan jelas ke Tuhan apa yang kita butuhkan, and do our best.

Bagaimana Maureen meyakinkan keluarga, khususnya orang tua yang seringkali negatif memandang perceraian? 

Saat berpisah dari mantan suami, ayah saya sedang bekerja di luar negeri. Waktu itu beliau sempat menelfon saya dan bilang “Kamu pulang. Nggak usah takut. Kamu masih punya Papa Mama dan adik-adik kamu,” lalu saya hanya bisa menangis dan bersyukur because they were there. They’re my safe place. Awalnya keluarga memang susah menerima kenyataan tetapi saya berusaha pahami, apalagi keluarga saya termasuk religious.

Maureen & komunitas Single Moms Indonesia

Maureen & komunitas Single Moms Indonesia

Seiring dengan berjalannya waktu, mereka melihat saya pelan-pelan dapat menata ulang kehidupan dan bahagia, mereka juga bahagia. Intinya, they just want us to be happy. Keluarga adalah support system terbesar untuk single moms, yang akan melindungi & membantu kapanpun.

Hikmah apa yang Maureen dapat/pelajari dari perpisahan dengan pasangan?

Banyak sekali pembelajaran yang saya dapatkan dari perceraian saya dan semua yang sudah saya lewati. Klise mungkin, tapi sekarang saya bisa dengan bangga bilang bahwa perceraian saya adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam kehidupan saya. Kenapa? Karena perceraian ‘memaksa’ saya to get on a journey of self-discovery; membuat saya mengenal & mencintai diri saya yang sesungguhnya. It’s not easy! But it’s totally worth it.

It is far easier to blame your ex dan saya pun dulu melalui fase itu kok, tapi akhirnya dengan waktu, saya juga mengenali pola pikir lama saya yang ternyata salah. Perceraian membuat saya jadi benar-benar sådär bahwa cinta yang paling utama dalam hidup adalah cinta dari diri kita sendiri, self love is key.

Bagaimana perkembangan hubungan dengan mantan suami kini?

Hubungan saya dengan mantan suami butuh waktu sekitar 2 tahun pasca perceraian untuk benar-benar baik. Butuh waktu untuk berdamai, memaafkan (termasuk memaafkan diri sendiri) dan karena kami dulu sepakat untuk co-parenting demi anak akhirnya saya belajar untuk meminggirkan ego dan kami dapat menjadi teman. Yes, teman! Hubungan kami seperti teman hingga napas terakhir mantan suami saya. Sayangnya, tepat setahun yang lalu dia meninggal karena kanker. Saya sangat bersyukur sebelum dia meninggal hubungan kami sudah sangat baik dan sudah tidak ada lagi sakit hati di antara kami.

Actives perempuan penggagas Single Moms, Maureen Hitipeuw (kiri) bersama putranya Alex.

Maureen bersama putranya Alex.

Banyak yang mengatakan bahwa anak korban perceraian cenderung tumbuh ‘tidak lengkap’ karena tidak ada peran dari salah satu pihak dalam keseharian. Bagaimana pandangan Maureen akan hal ini? 

Ini salah satu label yang saya harap pelan-pelan bisa kita ubah. Anak-anak sering kali dijadikan alasan banyak orang tua untuk bertahan dalam unhealthy & unhappy marriage karena takut anak akan bermasalah jika mereka memutuskan untuk berpisah. Menurut saya nggak adil ya.. Anak itu tergantung didikan orang tua juga kadar cinta dari orang-orang terdekatnya. Saya percaya pika anak-anak ‘love-tank’-nya penuh artinya mereka mendapatkan cinta yang cukup dari orang tua, saudara, keluarga, mereka akan baik-baik saja.

Justru menggunakan anak-anak sebagai alasan untuk mencegah perceraian malah lebih berbahaya bagi psikologis mereka nantinya karena mereka akan merekam di alam bawah sacar bahwa pernikahan itu seburuk apa pun harus tetap dipertahankan. Bukannya saya mempromosikan perceraian, tapi saya lebih berharap orang dewasa tidak lagi menggunakan anak-anak sebagai alasan atau tameng juga menggunakan anak sebagai senjata jika terjadi perceraian karena itu akan melukai mereka. Kids just needs to be loved and cared for dan anak-anak itu tahu kok kalau orangtuanya tidak bahagia. Kids are resilient, kadang-kadang kita orang dewasa lupa akan hal ini.

Banyak teman-teman di SMI yang takut anaknya jadi bermasalah karena kehilangan figur bapak dan menurut saya itu salah. Figur Bapak bisa didapatkan anak dari keluarga besar kita. Tidak ada keluarga? Pasti kita punya teman laki-laki yang baik? Nah, itu bisa dijadikan contoh dan perbandingan untuk dilihat oleh anak. Banyak anak-anak yang dibesarkan Ibu Tunggal juga bisa sukses. Lihat Obama? Bisa jadi presiden, lho!

Nilai – nilai apa yang perlu & selama ini ditanamkan kepada Alex pasca perceraian? 

Kindness and compassion. Saya juga dari awal selalu menanamkan bahwa walaupun orang tuanya bercerai it doesn’t mean that we don’t love them. Dan karena dari awal dia melihat hubungan saya dengan ayahnya baik dan kami dapat co-parenting, dia juga tidak merasa harus berpihak kepada salah satu orang tua. Dari SMI saya banyak menyaksikan ini karena ego orangtua yang terluka, anak menjadi korban dan mereka terbebani untuk menjaga perasaan orangtua.

Saya bersyukur banget walau pun anak saya bisa mengerti bahwa memang dinamika keluarga kita agak sedikit berbeda dengan keluarga lainnya tapi dia tahu bahwa ada banyak cinta dalam kehidupan dia dari keluarga besar saya dan keluarga ayahnya. Waktu saya pisah dia masih kecil tapi saya jujur menjelaskan dengan Bahasa yang saya sesuaikan dengan umur dia bahwa Mommy dan Daddy sudah tidak serumah lagi. Semakin dia besar pertanyaannya juga bertambah detail dan panjang.

Tetap, saya memilih jujur karena dia berhak tau tapi tentunya saya tidak menceritakan terlalu details penyebab utama perceraian itu sendiri. Saya jelaskan bahwa walaupun orangtuanya berpisah dia nggak perlu minder karena dia berbeda dengan teman-temannya. Saya juga menjelaskan kalau kehidupan kami memang sedikit berbeda dengan teman-temannya tapi bukan berarti ada yang salah dengan kehidupan kami. Saya juga mengajarkan bahwa kehidupan orang itu berbeda-beda, so let’s not judge others and to always be kind. (Nathalie Indry/KR/Photo: dok. Maureen Hitipeuw)
 

Shares