Parenting

Bullying, Mengapa Terus Terjadi?

By  | 

Mamas, meskipun beberapa tahun belakangan ini kampanye anti bullying terus digalakkan, namun kasus ini tetap saja terjadi. Terbukti dengan 2 video viral siswa Sekolah Menengah Pertama yang melakukan bullying di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Pusat. Juga video perbuatan kasar pada mahasiswa bekebutuhan khusus di salah satu perguruan tinggi swasta. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa yang harus kita lakukan sebagai seorang mama untuk mencegah hal ini? Yuk ikuti pembahasan Smart Mama bersama Psikolog Liza Marielly Djaprie berikut.

Menurut psikolog yang juga mama dari 4 orang anak ini, ada 3 pihak dalam kasus bullying, yakni pelaku, yang dibully, serta penonton. Ketiganya memiliki andil dalam sebuah kasus bullying, jika salah satu tidak ada, maka kasus ini tak akan terjadi. Lalu sebagai seorang mama yang tentu miris melihat fenomena ini, apa yang harus dilakukan?

Bully boys

Liza mengatakan, pertama-tama kita harus bertanya terlebih dahulu pada diri sendiri, sudahkah kita mengajarkan cinta kasih terhadap sesama pada Si Kecil? Sudahkah kita sendiri betul-betul menghargai perbedaan? Artinya kita tidak anti terhadap golongan apapun, meskipun berbeda dari kita. Tak hanya itu, sebagai mama, Anda juga tidak bisa berlaku terlalu otoriter karena dapat menyebabkan anak tidak bisa tegas dan menjadi korban bully. Selalu berikan ia pilihan dalam segala hal akan membantu anak untuk bersikap percaya diri dan tidak bisa diperlalukan seenaknya.

Setelah review diri sendiri, kini saatnya Anda menerapkan konsep kecerdasan emosi. Tak hanya cerdas secara akademis, namun Anda juga harus menumbuhkan rasa empati pada anak. Caranya tentu saja dengan memberi contoh, baik berupa kasus maupun melakukan hal positif di depan anak. Menurut Liza, pada dasarnya semua kembali dari rumah, yakni pola asuh kita sebagai orangtua. Anak-anak tumbuh dengan mencontoh perilaku orangtuanya.

Liza sendiri kurang setuju dengan keputusan sekolah mengeluarkan anak-anak pelaku bullying. “Hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah,” ungkapnya. “Bagaimana dengan masa depan mereka, setelah putus sekolah mereka tidak memiliki kegiatan yang justru akan semakin memicu perilaku menyimpang,” tambah Liza. Liza juga kurang respek dengan sebagian masyarakat yang mengeluarkan kata-kasar pada pelaku melalui sosial media. “Kok kita malah menyelesaikan kasus bullying dengan bullying!”

Kesimpulannya, Mams, yuk kita sama-sama menanamkan rasa empati, cinta terhadap diri sendiri maupun sesama dan menghargai perbedaan pada Si Kecil. Tanamkan juga rasa percaya diri sehingga ia bisa berkata tidak. Yang juga tak kalah penting, jika Anda dan keluarga melihat secara langsung kasus bullying, maka sudah kewajiban kita semua untuk bertindak tegas, tanpa perlu merasa sungkan atau takut. Beri pandangan pada anak bahwa perilaku tersebut salah, sama sekali tidak lucu, dan wajib dihentikan. Bullying tidak akan terjadi tanpa ada “penonton” yang seolah-olah terhibur dengan perbuatan pelaku. (Karmenita Ridwan/Photo: Istockphoto.com)

Shares